Begini seharusnya kalau mau disebut User-Centered Culture

Annur Syahdyanto
4 min readSep 14, 2021

--

image source: https://pixabay.com/vectors/meeting-business-brainstorming-1453895/

User Experience adalah hal yang paling penting dalam sebuah produk yang sukses. Saat ini banyak perusahaan mulai mempekerjakan User Experience Designer untuk dapat membuat produk mereka memiliki user experience yang bisa nyaman dan memuaskan costumer mereka.

Di beberapa perusahaan, peran User Experience Designer memiliki ruang gerak yang bermacam-macam, ada yang hanya sekedar mentranslate ide menjadi sebuah desain, ada yang sudah involve dalam fase ideation atau pencarian solusinya, dan ada yang sangat jauh dimana User Experience Designer ikut involve di level strategy terhadap produk dan company sehingga perusahaan memiliki visi yang berbasis dari users. Masalahnya adalah ketika ekspektasi dari perusahaan sangat tinggi terhadap peran UX Designer tetapi tidak ditunjang dengan culture yang ideal dan siap.

Berikut adalah beberapa hal tentang culture yang dapat mendukung implementasi user-centered:

Persepsi Product Manager terhadap peran Desainer

Saya menemukan beberapa Product manager yang masih menganggap bahwa role dari desainer adalah hanya mentranslate solusi yang sudah mereka temukan ke dalam sebuah desain mockup yang siap di develop. Dibandingkan memberikan solusi terhadap desainer yang mana ini akan memperkecil room of creativity dari si desainer itu sendiri, Saya lebih senang ketika seorang Product Manager datang ke desainer dengan membawa masalah yang sudah dianalisis secara mendalam dan disupport dengan banyak data yang valid, sehingga kita bisa mengelaborasi masalah bersama dan kemudian melakukan brainstorming untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Karena biasanya “Ide terbaik datang dari ide-ide yang banyak”.

Persepsi Desainer terhadap peran Product Manager

Banyak desainer menganggap bahwa Product Manager adalah atasan mereka. ini adalah kesalahan yang sangat fatal. karena ini bisa mengubah culture dari perusahaan itu sendiri, dimana biasanya dengan kondisi ini desainer akan sungkan untuk menchallenge ide-ide dari PM atau meneriakkan suara costumer mereka didalam ruang meeting. Desainer akan cenderung silent dan menjadi seorang Yes Man. ini sangat berbahaya bagi perusahaan ketika menular ke orang lain di dalam tim.

Kesalahan peran Product Manager

Product manager adalah orang yang seharusnya melakukan analisis terhadap produk mereka. mengerti kebutuhan dari customer mereka, membuat objective yang clear dan fit antara user dan bisnis, mendefiniskan bagaimana produk mereka terlihat sukses, membuat visi produk yang presisi, mengadakan alignment dengan tim-tim lain untuk mensupport visi mereka, sampai membuat planning dan prioritisasi yang jelas.
Beberapa Product Manager datang dari karir sebagai Project Manager sebelumnya, tapi tidak menjalankan peran barunya selayaknya Product Manager itu sendiri, sehingga mereka hanya fokus terhadap monitoring, planning, allocation resources, focus pada delivery tapi tidak pada kualitasnya. mereka bahkan tidak detail terhadap siapa user yang akan menggunakan fiturnya, bagaimana produk mereka akan terlihat sukses atau tidak, atau mendefine problem dengan hanya menggunakan angka dari bisnis metricsnya saja.

Jangan berharap mendapatkan visi produk yang tajam dan presisi ketika kita salah dalam mendefinisikan sebuah masalah

Resources yang seimbang

Jumlah desainer yang dimiliki sebaiknya lebih banyak dari Product Manager. apabila desainer lebih sedikit, maka otomatis inisatif yang mengantri di backlog pasti sudah sangat banyak, ini akan menjadi masalah terhadap si desainer jika PM dan desainer tidak bisa mengatur prioritasnya, desainer harus bisa menentukan mana inisiatif yang harus dilakukan dengan proses yang ideal, mana yang mungkin bisa disolve dengan quick hack saja. kita tidak mungkin mengerjakan semua inisiatif dengan proses yang ideal dengan resources yang terbatas. Malah bisa bikin desainer overwhelmed dan stress.

Jangan pernah harapkan ide kreatif dari tangan seorang desainer yang dipundaknya memikul task load yang banyak dengan prioritas yang tidak jelas.

Kolaboratif mindset

Hal ini juga berkaitan dengan persepsi peran desainer dan Product Manager di atas. Untuk memiliki kolaboratif mindset, semua orang harus melepaskan peran mereka agar bisa berkolaborasi dan tukar pikiran bersama-sama sehingga ide dari siapapun akan terasa penting dan patut untuk didengar.
Hal lain yang membatasi kolaboratif mindset adalah cara kerja yang selalu ingin cepat selesai, tidak mau ribet, dan yang penting kelar. mereka tidak fokus untuk mencari solusi yang terbaik untuk masalahnya.
Sebagai contoh ketika ada solusi terbaik yang dapat diimplementasi namun butuh andil/effort lebih dari tim lain, biasanya orang enggan untuk berkolaborasi. karena ingin cepat beres problemnya dan biasanya akan mencari solusi alternatif yang mana bukan the best solutions yang diimplement sehingga hasilnya tidak maksimal.

Tips lain untuk jadi kolaboratif:

  1. Jangan ABS (Asal Bapak Senang). Atasan itu belum tentu benar, jadi kalau ada atasan minta suatu hal yang menurut kita kurang bagus, lakukan research, lakukan test ke real users, kasih pandangan ke atasan bagaimana idenya akan berdampak. lalu berikan solusi lain untuk bisa mencapai goalsnya. fokuskan kepada goals, bukan permintaannya.
  2. Jangan Get things Done doang. Jangan asal deliver, asal rilis tepat waktu, asal bisa dipakai. Ubah pola MVP (Minimum Viable Product) menjadi MLP (Minimum Lovable Product).
  3. Jangan subjektif. Jangan semaunya sendiri, coba introspeksi juga apakah hal yang kita sampaikan sudah benar, Validasikan setiap argumen.
  4. Hindari confirmation bias. Ketika tidak suka dengan ide orang lain, jangan lalu mencari2 org yg sependapat lalu memaksa come up dengan ide/subjektivitas yang sama.

Roadmap dan Prioritas yang jelas

Ketika kolaboratif mindset sudah tertanam dengan benar dalam setiap individu, saatnya mengajak semua departement dalam organisasi untuk berkontribusi dalam menentukan roadmap. Tidak hanya tim produk dan desainer, kita bisa mengajak tim customer service yang paling sering mendengar keluhan users kita, kita gali juga insight dari tim marketing/bisnis seperti bagaimana kesulitan mereka dalam menjangkau pengguna baru, ajak juga tim data analis untuk membantu memberikan insight dari kuantitatif data, dan lain-lain.

Kesimpulan

Untuk dapat menerapkan user-centered approach ke dalam organisasi, kita perlu menanamkan mindset-mindset yang baik terutama dalam hal kolaborasi seperti di atas. Terapkan culture ini dari mulai onboarding karyawan baru dan masukkan kedalam OKR/KPI sampai menjangkau ke individu masing-masing agar menjadi habbit untuk selalu dibawa dalam aktifitas sehari-hari.

--

--

Annur Syahdyanto

Product Designer, UX/UI Coach at Startup Studio Indonesia